Selasa, 21 Oktober 2014

Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Pertanian


Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen keputusan Gubernur dan lain-lain.
Pemerintah pada umumnya mengimplementasikan kebijakan pertanian dengan tujuan untuk mencapai tujuan tertentu di dalam pasar produk pertanian domestik. Tujuan tersebut bisa melibatkan jaminan tingkat suplai, kestabilan harga, kualitas produk, seleksi produk, penggunaan lahan, hingga tenaga kerja,dan berikut adalah beberapa kebijakan pemerintah:
  •  Kebijakan Harga

 Secara teoritis kebijakan harga yang dapat dipakai untuk mencapai tiga tujuan yaitu:

  1. stabilitas harga hasil-hasil pertanian terutama pada tingkat petani
  2. meningkatkan pendapatan petani melalui pebaikan dasar tukar (term of trade)
  3. memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.
  •  Kebijakan Pemasaran  

Di samping kebijakan  harga untuk melindungi petani produsen, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan  khusus dalam kelembagaan perdagangan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan tekanan pada perubahan mata rantai pemasaran dari produsen ke konsumen, dengan tujuanutama untuk memperkuat daya saing petani.

  • Kebijakan Struktural
Kebijakan struktural dalam pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki strukutur        produksi misalnya luas pemilikan tanah, pengenalan dan pengusahaan alat-alat pertanian  yang baru dan perbaikan prasarana pertanian pada umumnya baik prasarana fisik maupun    sosial ekonomi

  • Kebijakan Pertanian dan Industri    

           Ciri-ciri pokok perbedaan antara pertanian dan industri adalah:
  1. Produksi pertanian kurang pasti dan risikonya besar karena tergantung pada alam yang kebanyakannya di luar kekuasaan manusia untuk mengontrolnya, sedangkan industri tidak demikian.
  2. Pertanian memproduksi bahan-bahan makanan pokok dan bahan-bahan mentah yang dengan kemajuan ekonomi dan kenaikan tingkat hidup manusia permintaannya tidak akan naik seperti pada permintaan atas barang-barang industri
  3. Pertanian adalah bidang usaha dimana tidak hanya faktor-faktor ekonomi saja yang menentukan tetapi juga faktor-faktor sosiologi, kebiasaan dan lain-lain memegang peranan penting. Industri lebih bersifat lugas (zakelijk).

Ketiga ciri khusus pertanian ini nampak dalam teori ekonomi sebagai perbedaan dalam respons permintaan dan penawaran atas perubahan-perubahan harga.
Elatisitas harga atas permintaan dan penawaran hasil-hasil pertanian jauh lebih kecil daripada hasil-hasil industri. Misalnya elastisitas harga atas permintaan radio, buku-buku, mobil dan lain-lain, jauh lebih tinggi daripada elatisitas harga atas permintaan beras dan bahan pakaian. Hal ini disebabkan pendapatan sektor industri pada umumnya lebih tinggi daripada pendapatan sektor pertanian maka elastisitas pendapatan atas permintaan barang-barang hasil industri lebih besar daripada atas bahan makanan pokok

  • Pendapatan Penduduk Desa dan Kota

        Ada tiga hal yang meyebabkan rata-rata pendapatan penduduk kota lebih tinggi dibanding penduduk             desa yaitu:    
  1. kestabilan dan kemantapan pendapatan penduduk kota lebih besar dibanding pendapatan penduduk desa
  2. lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang dapat mendorong kegiatan ekonomi di kota lebih banyak dibandingkan di desa
lebih banyaknya fasilitas pendidikan dan kesehatan di kota yang memungkinkan rata-rata produktivitas tenaga kerja di kota lebih tinggi.                                                       

Masalah kebijakan pemerintah

Reformasi yang telah berumur sembilan tahun tampaknya masih berjalan di tempat. Pemerintah hingga kini dinilai tak mempunyai kebijakan ekonomi yang jelas. Bahkan pemerintah menelantarkan bidang pertanian yang menjadi basis pemulihan ekonomi.
Itu terlihat dari seringnya pemerintah mengimpor beras belakangan ini. Ratusan ribu hektare lahan pertanian juga beralih menjadi perumahan dan pabrik. Lahan pertanian terancam. Departemen Pertanian memperkirakan lima sampai sepuluh tahun ke depan, 3 juta hektare lahan sawah beralih fungsi. Parahnya lagi, pemerintah mengabaikan permasalahan tersebut.
Sebagai doktor di bidang pertanian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya meluncurkan revitalisasi atau menghidupkan kembali pertanian. Yudhoyono menargetkan lahan abadi seluas 30 juta hektare. Namun, program itu mandul pada penerapannya. Lahan pertanian justru makin tergerus.
Pemerintah sepertinya tidak belajar dari krisis ekonomi pada 1997. Ketika dunia industri terguncang, pertanian menjadi bantal pengaman dengan menyerap jutaan tenaga kerja
 Pemerintah dinilai belum serius mengurus sektor pertanian sebagai salah satu basis ketahanan pangan. Direktur Instititute for Development of Economic and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan, pemerintah salah langkah dalam mendesain kebijakan pertanian. Akibatnya, produktivitas hasil pertanian rendah serta adanya ketergantungan terhadap komoditas pangan impor. 

"Pertama soal konsistensi pemerintah. Kita lihat anggaran untuk sektor pertanian yang hanya 1,3 persen dari total APBN 2013, sementara Guangzhou 15 persen. Itu aja diturunkan kan, karena menterinya dianggap tak sejalan, maka kena punishment," kata dia dalam diskusi bertajuk Ketahanan Pangan di Tahun Politik, di Jakarta, Rabu malam (2/10/2013).

Tidak adanya insentif dari pemerintah, membuat petani menjadi korban. Produktivitas rendah karena sektor pertanian sudah dinilai tak ekonomis lagi. Ia menyebutkan untuk beberapa komoditas, keuntungan petani dalam sebulan hanya sekitar 800.000-1,2 juta per hektar. 

"Selama desain kebijakan kita tidak riil dan konkret menempatkan ujung tombak pertanian dengan petani diberi insentif maka jangan pernah berharap, bermimpi akan swasembada," jelasnya. 

Produktivitas petani tercatat mengalami penurunan di beberapa komoditas seperti kedelai, jagung, dan padi. 

Dari catatan Indef, produksi kedelai sepanjang 2011 tercatat 851.000 ton, tahun sebelumnya 907.000 ton. Jagung produksinya sepanjang 2011 sebesar 17,6 juta ton, turun dari sebelumnya sebesar 18,3 juta ton. Sementara padi, produksi 2011 sebesar 65,7 juta ton, sebelumnya sebesar 66,4 juta ton. 

Enny menambahkan, kebijakan sektor pertanian juga sangat partial. Tidak ada koordinasi antara sektor terkait. Padahal, lanjutnya, sektor pertanian tidak mungkin bisa jalan sendiri. Perlu juga infrastruktur pendukung pertanian hingga tata niaganya. 

"Perdagangan tidak mendukung swasembada, justru memperburuk. Soal importasi misalnya kita tidak pernah koordinasi. Impor selalu dibuka ketika petani panen. Ini menjadi momentum pedagang untuk memainkan harga sampai di level petani," jelas Enny. 

Neraca perdagangan komoditas pangan semester pertama 2013 juga menunjukkan defisit kian dalam. 

Sebagai catatan, berdasarkan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Pertanian, defisit neraca perdagangan komoditi pangan dari Januari-Juni 2013 semakin parah. Pertumbuhan defisit untuk kedelai olahan paling besar yaitu 175,4 persen. Berturut-turut disusul kacang tanah olahan (55,3 persen), kedelai segar (38,2 persen), kacang tanah segar (19,9 persen), tanaman pangan lain (16,3 persen), almond segar (14,6 persen), ubi kayu olahan (11,5 persen), serta gandum/meslin segar (5,2 persen). Sementara itu, beberapa komoditas yang defisitnya menurun antara lain chesnut (145 persen), jagung olahan (6,7 persen), jagung segar (6,3 persen), gandum/meslin olahan (5,2 persen), terakhir beras segar (5 persen). 

Di sisi lain, orientasi kebijakan juga dinilai hanya jangka pendek, yakni dengan importasi. Ini kata Enny sangat berpeluang menimbulkan kegiatan kartel. Ia mencontohkan, dalam importasi kedelai, sistem kuota dan aturan importir terdaftar justru menyebabkan pemberian izin terkonsentrasi pada tiga pemain besar. 

Berdasar catatan Indef, pemegang kuota importasi kedelai Agustus 2013, PT FKS memegang kuota hingga 46,7 persen. Pemain kedua yang terdiri dari PT GCU dan PT BSS mendapat kuota 19,6 persen. Sementara, pemain ketiga terbesar, PT CTI, PT JN, dan PT GSS memiliki kuota 14,9 persen. 

Tanpa disadari, sebut Enny, kebijakan perdagangan justru rawan menimbulkan adanya market failure (mekanisme pasar tidak berjalan sebagaimana mestinya). "Keterpurukan dari sektor pertanian terutama pangan kita tidak pernah mempunyai arah kebijakan yang jelas. Bahkan mungkin tidak punya kebijakan," katanya




Tidak ada komentar:

Posting Komentar